Ada yang tak berani menatap sebuah bunga yang mekar di bulan Maret itu, di mana matahari menerobos menyeruak tinggi menjulang tepat di zenith bunga itu. Tak berani ia memandang kecuali berpangku tangan berharap bahwa angin yang membawa serbuk sarinya tidak akan mengkhianatinya dengan kejam.
Ada yang tak berani bergerak menyapa bunga yang mekar di bulan Maret itu, ke tempat di mana kumpulan serbuk sari yang melayang menari berputar mengelilingi bunga itu dan tak tahu serbuk miliknya di mana. Kakinya telah tertancap kuat pada tanah yang menggenggam sehingga hilang kesempatan untuk menyapa bunga itu.
Ada yang tak berani menyampaikan suaranya untuk bunga yang mekar di bulan maret itu, disimpannya seluruh ide bercakap untuk besok, atau lusa, atau minggu depan, atau bulan depan, untuk tahun depan, untuk satu dekade, atau bahkan satu abad karena tak pernah dipikirnya sampai kapan dirinya menguning lalu melayu mati tersisa debu.
Lalu,
Ada yang menguning layu lalu mati tanpa merasakan apa kebahagiaan itu, dilewatkannya kebahagiaan itu karena dunianya hanya menunggu tanpa tahu dirinya ditunggu. Bahkan telah lupa dia caranya tersenyum meringis lalu tertawa karena dibutakan rasa takut tanpa tahu bahwa harapannya telah terwujud di taman bunga Lisse kepada bunga yang ia impi-impikannya itu
(2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar